Sabtu, 27 Agustus 2011

Pahit dalam Manis, Manis dalam Lumpur

Sangat ingin seperti dulu lagi, keika kekuatan dariku sendiri yang membuatku hidup hingga detik itu. Teringat ketika aku menjadi wanita kecil yang begitu mandiri, yang mau berusaha untuk dunianya. Tanpa menggantungkan perasaan pada makhluk lain yang disebut laki-laki. Menjadikanku semakin lemah saja. Ibarat dulu aku matahari keecil, kini aku hanya sebuah bulan. Yang menunggu matahari membiaskan sinarnya hingga senyum bulan terlihat.
Bagiku laki-laki adalah surga untuk neraka, dan neraka di dalam surge. Begitu banyak menjanjikan, padahal dasarnya mereka sendiri lupa jika hidup merekapun dibawa oleh takdir. Menguatkan tetapi dari satu sisi melumpuhkan. Aku tidak tahu mengapa aku mengatakan hal seperti ini, yang aku tahu, aku sebenarnya telah sadar walaupun belum sepenuhnya. Bagaimanapun kejadiannya, aku harus sabar menunggu laki-laki dari Tuhan, penjelmaan malaikat-Nya. Bukan seperti ini.
Keinginanku hanya terbebas dari dua konskuensi ini. Kembali padda Tuhanku dan meninggalkan seseorang yang mencari Nya, atau tetap mendampingi hidupnya. Bagiku adalah pilihan yang sangat sulit dengan segala argument yang terlontar. Dan disini jiwa pengecut menjijikkanku muncul, susatu saat aku tidak ingin dilahirkan. –hanya- karena permasalahan ini. Aku mengetahui cinta yang hakiki, tetapi kenyataan berkata aku telah bersama seseorang yang mencintai. Bagaimana bias aku memilih dengan waktu secepat membalikkan telapak tangan ?
Tapi inilah hidup, mengandung jutaan milyar pilihan. Dengan ribuan garis besar : Ribuan milyar pilihan demi SATU tujuan. Bahagia selamanya. Jujur kali ini aku herdan dengan kenyataan seperti ini. Tidak adil, tetapi menantang. Dan aku menghibur diri dengan berkata : Hidup ini tidak seperti menjawab soal THB, tetapi seperti menjawab dimana timur dimana barat.

Ada Manis dalam Pahit

Sangat ingin seperti dulu lagi, keika kekuatan dariku sendiri yang membuatku hidup hingga detik itu. Teringat ketika aku menjadi wanita kecil yang begitu mandiri, yang mau berusaha untuk dunianya. Tanpa menggantungkan perasaan pada makhluk lain yang disebut laki-laki. Menjadikanku semakin lemah saja. Ibarat dulu aku matahari keecil, kini aku hanya sebuah bulan. Yang menunggu matahari membiaskan sinarnya hingga senyum bulan terlihat.
Bagiku laki-laki adalah surga untuk neraka, dan neraka di dalam surge. Begitu banyak menjanjikan, padahal dasarnya mereka sendiri lupa jika hidup merekapun dibawa oleh takdir. Menguatkan tetapi dari satu sisi melumpuhkan. Aku tidak tahu mengapa aku mengatakan hal seperti ini, yang aku tahu, aku sebenarnya telah sadar walaupun belum sepenuhnya. Bagaimanapun kejadiannya, aku harus sabar menunggu laki-laki dari Tuhan, penjelmaan malaikat-Nya. Bukan seperti ini.
Keinginanku hanya terbebas dari dua konskuensi ini. Kembali padda Tuhanku dan meninggalkan seseorang yang mencari Nya, atau tetap mendampingi hidupnya. Bagiku adalah pilihan yang sangat sulit dengan segala argument yang terlontar. Dan disini jiwa pengecut menjijikkanku muncul, susatu saat aku tidak ingin dilahirkan. –hanya- karena permasalahan ini. Aku mengetahui cinta yang hakiki, tetapi kenyataan berkata aku telah bersama seseorang yang mencintai. Bagaimana bias aku memilih dengan waktu secepat membalikkan telapak tangan ?
Tapi inilah hidup, mengandung jutaan milyar pilihan. Dengan ribuan garis besar : Ribuan milyar pilihan demi SATU tujuan. Bahagia selamanya. Jujur kali ini aku herdan dengan kenyataan seperti ini. Tidak adil, tetapi menantang. Dan aku menghibur diri dengan berkata : Hidup ini tidak seperti menjawab soal THB, tetapi seperti menjawab dimana timur dimana barat.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Takdir

Agustus 2011 ..

Sudah saatnya memaknai segala yang melebihi takdir. Mencari arti segala.
Saat aku berkata tidak, utusan takdir mengatakan lain
mengharuskan aku menjalani jalinan yang aku tak mengerti
Begitu mendilema, terhanyut, meresapi kesakitan yang nyata.
Hingga ahirnya aku berkata. Aku tidak bisa melawan takdir.